Thursday 19 January 2012




A.    Pendahuluan
Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik atau “good governance” merupakan ‘impian’sekaligus harapan semua bangsa di dunia. Pandangan tersebut dapat dimengerti karena melalui pelaksanaan good governance, upaya penciptaan aparatur pemerintah yang bersih, bebas dari tindakan yang tidak terpuji serta tidak berpihak pada kepentingan masyarakat diharapkan dapat diwujudkan secara nyata.
Selain itu, pelaksanaan good governance juga akan bersentuhan atau berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kinerja birokrasipemerintah yang kemudian berujung pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan good governance sudah selayaknya menjadi komitmen semua untuk mewujudkannya. Sudah tidak pada tempatnya jika masih ada sebagian pihak yang ‘berhasrat’ untuk menunda-nundapelaksanaan good governance tersebut, baik di tingkat pusat maupun daerah (lokal). Penundaan atau keterlambatan dalam menterjemahkan konsep good governance secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di lingkungan birokrasi pemerintah, hanya akan menambah beban dan penderitaan bagi masyarakat.
Istilah ‘good governance’ di Indonesia kembali mengemuka atau sejalan dengan merebaknya arus reformasi yang di motori oleh kalangan mahasiswa dan kaum intelektual. Konsep tersebut kemudian merambah keberbagai dimensikehidupan, termasuk di kalangan aparatur negara yang dianggap sebagai ujung tombak dari pelaksanaan pemerintah.

B.     Pengertian dan Unsur Utama Kepemerintahan Yang Baik
Menurut Ganie & Rochman (2000 : 142) governance diterjemahkan sebagai “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi da sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif”. Sedangakn Pinto dalam Nisjar (1997 : 119) mengartikan governance sebagai “praktek penyelengaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam penelolaan urusan pemerintah secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya”. Sejalan dengan pengertian tersebut, LAN RI (2000 ; 5) mengartikan governance sebagai “proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and servise). Pengertian yang lebih spesifik dikemukakan oleh UNDP (1996) yang menterjemahkan good governance sebagai berikut : “governance can be seen as the exercise of outhority to manage all aspects of a country’s affair at all levels in all spheres (public, private, civil) … it comprisee the mechanisms, proces.
Berbagai pengertian di atas mengisyaratkan bahwa konsep good governance  sesungguhnya sangat berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan negara baik dalam sektor ekonomi, sosial, pelayanan publik, maupun layanan privar (pribadi). Kemudian secara fungsional pelaksanaan good governance tidak hanya melibatkan sektor pemerintah semata, tetapi juga melibatkan masyarakat dan swasta. Oleh sebab itu, munculnya konsep tersebut sebenarnya dibangun atas dasar faktasebagai berikut : pertama, adanya korelasi positif antara dinamika dan kinerja pembangunan sumber daya manusia dengan kualitas governance, seperti yang ditunjukkan oleh suksesnya negara-negara maju. Kualitas governance yang baik ternyata menghasilkan kinerja pembangunan yang baik dan sustainable. Kedua,  kebijakan dan instrumen yang dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial belakangan ini pada kenyataan belum mampu menunjukkkan hasil yang maksimal. Menguatnya fenomena kemiskinan dan ketimpangan sosial, terpuruknya perekonomian dan krisis politik yang berkepanjangan, menunjukkkan rendahnya kinerja dan buruknya perilaku aparatur dalam menerjemahkan pelayanan yang diberikan pada masyarakat.
Dengan demikian, mengembangkan kapasitas dan mewujudkan good governance  merupakan instrumen utama untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Tantangan bagi semua masyarakat dewaa ini adalah bagaimana mewujudkan sistem governance yang mampu merealisasikan terwujudnya kemakmuran semua orang serta mengantisipasi dampak negatif dari perbuatan korupsi yang diduga kuat melibatkan sejumlah pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Urgensi untuk mewujudkan good governance  bukan hanya dipandang cocok untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, tetapi juga sangat relevan dengan kebutuhan untuk proses pemulihan, stabilitas ekonomi dan krisis politik yang kia memburuk serta rendahnya kinerja dan pelayanan publik. Itulah sebabnya, dalam pelaksanaan good governance pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, baik masyarakat maupun kalangan swasta. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Taschereau dan Compos  (UNDP), 1997) juga menyatakan bahwa “Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yaitu Government, Civil Society, dan Business”.
Jadi tiga unsur istilah (Government, Pivate Sector dan Civil Society) yang menjadi komponen pelaku dalam negara, untuk menciptakan suatu sinergi sehingga tercipta suatu kesejahteraan dalam masyarakat. Negara berfungsimenciptakan lingkungan politikdan hukum yang kondusif, sektor swasta mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri mewadahi interaksi sosial politik dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Itulah sebabnya Miftah Thoha (2000) mengaris bawahi bahwa prinsip demokratis yang melekat pada good governance  meletakkan urgensi untuk menempatkan kekuasaan ditangan rakyat bukan ditangan penguasa. Kemudian, tidak adanya rasa takut untuk memasuki suatu perkumpulan atau serikat sesuai dengan kebutuhan hati nurani, dan terakhir dihargainya moral perbedaan pendapat.
Sejalan dengan pemikiran, Riyaas Rasid dan Mostopadidjaja (2002) menempatkan aparatur pemerintah sebagai ujung tombak penyelenggaraan good governance yang bersih dari KKN tampaknya perlu juga ditelusuri sampai sejauh mana bahaya perbuatan kolusi, korupsi dan nepotisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat penting untuk dikaji mengingat perbuatan tersebut sangat inheren dengan perilaku aparatur itu sendiri.
Sejalan dengan pandangan di atas, UNDP (1996) mengemukakan tiga unsure utama (domains) yang perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance), yakni the state (Negara), the private sector (sektor swasta), dan civil society organizations (organisasi kemasyarakatan).
Secara fungsional tugas terpenting negara di masa yang akan datangadalah bagaimana mewujudkan masyarakat yang sejahtera, melalui peningkatan kinerja birokrasi pemerintahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Selain itu, negara harus mampu mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan seraya melakukan penataan ulang terhadap berbagai sektor yang mendukung terhadap pembangunan kualitas sumber daya manusia. Berbagai sektor yang dimaksud antara lain ; sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan, insfrastruktur, penguatan demokrasi, desentralisasi, dan lain-lain.
Pemerintah (Negara) memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam melakukan penataan dan mengintegrasikan berbagai sektor sebagaimana dijelaskan di atas, selain itu, pemerintah juga harus mampu mengupayakan perlindungan terhadap masalah lingkungan terhadap masalah lingkungan, yang selama ini masih terabaikan.
Dalam konteks pelaksanaan good governance, sektor swasta jelas memiliki peran yang sangat besar dan strategis, karena tanpa adanya keterlibatan pihak swasta, agaknya sulit bagi pemerintah bahkan tidak mungkin untuk dapat melaksanakan konsep good governance secara optimal. Salah satu peran penting sektor swasta dalam mendukung terwujudnya konsep good governance adalah keterlibatan dalam sektor ekonomi, tentu saja dengan tidak mengabaikan sektor-sektor lainnya, seperti lingkungan hidup, sektor sosial, budaya dan lain-laain. Namun, pendekatan ekonomi ini tampaknya merupakan salah satu pilar penting bagi pemerintah (Negara) dalam mendorong pembangunan ekonomi bangsa, baik menyangkut investasi, pemasaran, maupun produksi, sehingga pada akhirnya diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomisecara nasional.
Seperti halnya sektor Negara dan swasta organisasi kemasyarakatan (civil society organizations) pun tampaknya tidak boleh dipandang sebelah mata dalam mendukung terwujudnya good governance. Secara fungsional, organisasi kemasyarakatan berperan dalam memfasilitasi insteraksi sosial, politik, ekonomi, hukum, lingkungan hidup maupun sektor lainnya. Selain itu, organisasi kemasyarakatan juga berperan dalam melakukan “check and balance” terhadap kewenangan dan kekuasaan pemerintah (Negara) dalam menjalankan tugasnya serta aktifitas sektor swasta yang berkaitan dengan masalah kepentingan public. Peran lain yang juga bisa dimainkan oleh organisasi kemasyarakatan dalam konteks pelaksanaan good governance adalah menyalurkan partisipasi masyarakat trkait dengan aktivitas sosial, ekonomi, politik, hukum, lingkungan hidup, ketenagakerjaan dan lain-lain. Intinya, organisasi kemasyarakatan juga dapat berperan dalam memberikan kontribusi pemikiran dan penekan dalam mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Dengan demikian, good governance merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintah negara yang evisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

C.    Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik
Good governance, esensinya adalah pemerintahan yang mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam rancang bangun pembangunan, transparan, dan bertanggung jawab, efektif dan adil, serta menjamin terlaksananya supremasi hukum. Good Governance juga harus dapat menjamin bahwa prioritas di bidang politik, sosial, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan didasarkan pada konsensus masyarakat ; memperhatikan kepentingan rakyat banyak; mendukung visi strategis pemimpin; dan masyarakat yang mampu melihat jauh ke depan dari suatu pemerintahan yang baik dan berorientasi pada pembangunan untuk semua (kelayakan sosial)
Pelaksanaan Good Governance bukanlah suatu proses yang sederhana, tetapi membutuhkan adanya komitmen dan sejumlah ketentuan yang dapat dijadikan sebagai pedomanatau landasan bagi semua pihak yang terlibat (stakeholders), khususnya pemerintah. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif terhadap karakteristik good governance tampaknya tidak bisa di tawar-tawar lagi. Sejalan dengan hal tersebut, UNDP (1997) telah mengisyaratkan bahwa sebuah governance disebut ‘good’ jika mempunyai karakteristik sebagai berikut; Partisipatif, Rule of law, Transparan, Renponsif, Berorientasi pada konsensus, Equity, Efektif, dan Efisien, Akuntable, bervisi strategis, Legitimasi, Resources prudence, Empowering dan Enabling, Kemitraan dan Berorientasi pada masyarakat.
Partisipatif mengandung arti bahwa, kepentingan laki-laki dan perempuan dapat diartikulasikan dalam setiap proses pengambilan keputusan, secara langsung atau melalui institusi intermidier yang sah. Partisipasi itu hendaknya dibangun atas dasar kebebasan berorganisasi berbicara.
Dari segi hukum maka harus ada rule of law yang jelas, artinya negara mesti membangun kerangka hukum yang adil dan tidak memihak terutamamenayangkut Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-undang keamanan dan keselamatan publik. Selain itu, sebuah entitas pemerintah yang baik harus mempunyai basis legitimasi yang kuat. Artinya baik produk hukum maupun kerangka kelembagaan dan keputusan-keputusan tertentu yang dihasilkan harus sesuai dengan prosedur, proses dan kriteria kelembagaan yang bisa diterima dan syah.
Prinsip transparasi menurut adanya kebebasan arus informasi dimana proses, institusi dan informasi secara langsung bisa diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang memadai harus tersedia sehingga bisa dipahami dan dimonitoring oleh masyarakat dan pihak yang berkepentingan.
Dalam hal akuntabilitas, maka setiap pengambil keputusan baik dilingkungan pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil harus akuntabel terhadap masyarakat luas, konstituen khusus dan kelembagaan stakeholder. Sedangkan, Empowering dan Enabling artinya semua sektor dalam masyarakat kita harus diberdayakan sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang bisa tercapi secara optimal. Karena governance merupakan sistem pertanggungjawaban yang menyeluruh maka ia tidak bisa dieksekusi secara efektif hanya oleh pemerintah saja, maka ia harus melibatkan semua pihak – dalam hal ini publik, aktor swasta, dan masyarakat luas. Sedangkan prinsip berbasis pada masyarakat artinya governance itu diarahkan pada pengembangan kemandirian dan otonomi masyarakat lokal.
Dari perspektif pelayanan maka sebuah entitas governance yang baik, dilihat dari segi kelembagaan dan proses mestinya bisa melayani semua stakeholder. Dilihat dari aspek alokasi dan penggunaan sumber daya, maka ada tiga karakteristik yang sangat penting, yaitu; equity, efektifitas, dan efisiensi, ramah lingkungan dan resaurces prudence. Meskipun keempatnya menyangkut sumber daya manusia akan tetapi secara konseptual memang berbeda. Equity, terutama berkaitan dengan kesamaan peluang semua laki-laki, perempuan kelompk rawan untuk mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan. Karakteristik ramah lingkungan merujuk pada kondisi bahwa upaya memproteksi dan memproduksi lingkungan yang bisa menjamin sustainabilitas kemandirian.
Dalam resources prudence ada upaya yang jelas bahwa sumber daya dikelola dan didayagunakan untuk mengoptimalkan kesejahteraan semua orang selama beberapa generasi kedepan, idealnya seabadi mungkin, tanpa menggadaikan masa depan. Sedangkan soal efektivitasdan efisiensi menghendaki supaya berbagai keputusan publik didasarkan pada penggunaan sumberdaya terbaik.
Ciri berorientasi pada konsensus artinya, semua perbedaan yang ada hendaknya diselesaikan melalui konsensus umum, malah kalau bisa konsensus itu juga menyangkut kebijakan dan prosedur, yang bisa memuaskan kepentingan kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Untuk mempunyai berbagai karakteristik tersebut jelaslah bahwa pemimpin dan masyarakatnya harus mempunyai visi strategis yang luas dan berjangkapanjang baik mengenai good society maupun god governance. Tentu bervisi saja belum cukup, ia harus dibarengi dengan kemampuan mengeksekusi visi tersebut kedalam langkah-langkah nyata. Itulah mengapa kemudian good governance harus mempunyai ciri bervisi strategis.
Untuk mempertajam pemahaman tentang karakteristik good governance, Mustopadidjadja AR (1999) dan Riyas Rasyid (2000) merekomendasikan 6 (enam) karakteristik good governance yang harus menjadi acuan dalam mengarahkan kebijakan sistem pemerintahan yaitu pertama, adanya kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan memiliki akuntabilitas. Kedua, menghormati hak asasi manusia. Ketiga, dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan primakepada masyarakat tanpa diskriminasi. Keempat, mampu mengakomodasi kontrol sosial masyarakat. Kelima, partisipasi, otoaktivitas dan desentralisasi dan keenam, berkembangnyasistem checks and balance.
Pertama, prinsip kepastian hukum yang dimaksud adalah prinsip kepastian hukum yang meliputi penciptaan sistem hukum yang benar dan adil dalam lingkup hukum nasional (dalam keseluruhan tatanan administrasi pemerintahan), hukum adat dan hukum kemasyarakatan, pemberdayaan pranata hukum, desentralisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan serta pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh DPR.
Kedua, prinsip keterbukaan yang meliputi penumbuhan iklim yang kondusif bagi terlaksananya pengakuan terhadap hak asasi manusia, transparasi informasi secara benar, jujur dan adil.
Ketiga, prinsip akuntabilitas, yang meliputi kejelasan rencana kerja prosedur dan mekanisme kerja, dengan sistem pertanggung jawaban yang jelas serta pemberlakuan sistem pemberian ganjaran dan sanksi yang konsisten.
Keempat, prinsip profesionalitas yang meliputi kapabilitas, kompetensi dan integritas.
Kelima, partisipasi, otoaktifitas dan desentralisasi sebagai wujud komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Keenam, berkembangya sistem check and balance, pada akhirnya terwujud good governace memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembangdari dan dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara.
Sementara itu, menurut United Nation Development Project (UNDP) terdapat beberapa prinsip good governance yang amat penting sebagai berikut:
1.      Partisipasi : setiap warga negara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartipasi secara konstruktif.
2.      Taat hukum (rule of law) kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa diskriminasi, terutama hukum yang berlaku untuk perlindungan hak asasi manusia.
3.      Tranparasi : dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Informasi mengenai proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja lembaga-lembaga dapat diterimaoleh mereka yang membutuhkan, informasi tersebut harus dapt dipahami dan dapat di pantau.
4.      Responsif : lembaga-lembaga negara/badan usaha harus berusaha untuk melayani stakeholdernya. Responsif terhadap aspirasi masyarakat.
5.      Berorientasi Kesepakatan (consensus orientation); good governance menjadi perantara kepentingan yang lebih luas, dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur krja.
6.      Kesetaraan (equity): semua warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankankesejahteraan mereka.
7.      Efektif dan efisien : proses-prose dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia hasilnya sebaik mungkin.
8.      Akuntabilitas (accountability): para pembuat keputusan dalam pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.      Visi Stratejik (strategic vision) : para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.

D.    Strategi Penataan Aparatur dalam Pelaksanaan Good Governance Menuju Pemerintahan Yang Bersih
Untuk mewujudkan pelaksanaan good governance secara konsisten dan sustainable (berkelanjutan) bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi good governance tersebut diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, jajaran birokrasi pemerintahan harus memahami esensi birokrasi itu sendiri dikatkan dengan penciptaan good governance yang dimaksud.
Dalam konteks ini David Obsorn dan Gaebler (1992) menyampaikan 10 konsep birokrasi sebagai berikut :
1.      Catalytic Government : Steering rather than rowing. Aparatur dan birokrasi berperan sebagai katalisator, yang tidak harus melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian aparatur dan birokrasi harus mampu mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan publik.
2.      Community-owned government : empower communities to solve their own problems, rather than marely deliver service. Aparatur dan birokrasi harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian dalam pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sepeti koperasi, LSM dan sebagainya, perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya sendiri, seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain.
3.      Competitive government : promote and encourrage competition, rather than monopolies”. Aparatur dan birokrasi harus menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.
4.      Mission-driven government : be driven by mission rather than rules”. Aparatur dan birokrasi harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaianapa yang merupakan “misinya” dari pada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan misinya.
5.      Result-oriented government : result oriented by funding outcomes rather than inputs. Aparatur dan birokrasihendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya kurang.
6.      Cuntomer-driver government : meet the needs of the customer rather than the bureaucracy. Aparatur dan birokrasi harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan mayarakat bukan kebutuhan dirinya sendiri.
7.      “ente prising government : concretrate on earning money rather than just speding it. Aparatur birokrasi harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan uang untuk organisainya, disamping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa hidup hemat.
8.      Anticipatory government : invest in preventing problems rather than curing crises. Aparatur dan birokrasi yang antisipasif. Lebih baik mencegah dari pada memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemi daripada mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swich” dalam aparat daerah.
9.      Decentralilazed government : decentralized authority rahter than build hierarcy. Diperlukan desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan, dari berorientasi hirarki menjadi partisipasif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi bawahan akan lebih leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.
10.  Market-oriented government : solve problemby influencing market forces  rather than by treating public programs. Aparatur dan birokrasi harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan pada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan pada kebutuhan pasar.
Melengkapi konsep diatas, Obsorn dan Peter Plastrik (1996) menyampaikan lima (5) strategi untuk pengembangan konsep Reinventing Government yang dikenal dengan istilah “The Five C’S”, sebagai berikut :
1.      Strategi inti (Core Strategi) yaitu strategi merumuskan kembali tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk otonomi daerah melalui penetapan visi, misi, tujuan, dan sasaran, arah kebijakan serta peran-peran kelembagaan serta individu aparatur penyelenggara pemerintaha.
2.      Strategi konsekuensi (consekquency strategi), dalam hal ini perlu dirumuskan dan ditata kembali pola-pola insensif kelembagaan maupun individual, baik melalui pendekatan manajemen kompetitif, manajemen bisnis (komporatisasi dan privatisasi), atau manajemen kinerja(performance management).
3.      Strategi pemakai jasa (customer strategi) aparatur birokrasi dalam hal ini perlu melakukan reorientasi dari kepentingan politik pemerintahan, serta orientasi pada kepentingan kelembagaannya, kearah kepentingan pemenuhan kebutuhan berdasarkan pilihan-pilihan masyarakat (pemakai jasa publik), peningkatan kualitas layanan, serta kompetisi pasar yang sehat.
4.      Strategi pengendalian ( control strategy), yaitu adanya perumusan kembali dalam upaya pengendalian organisasi, mulai dari :
a.       Pengendalian Strategi yang merupakan proses perumusan dan penetapan organisasi.
b.      Pengendalian mamajemen, yang merupakan pengendalian dalam menjaga agar pelaksanaan telah ditetapkan.
c.       Pengendalian tugas sebagai pengendalian yang sifatnya pelaksana (operasional).
Ketiga pengendalian ini bisa dikembangkan melalui pengembangan struktur organisasi kelembagaan yang bertumpu pada kekuatan aparatur seperti gugus kendali mutu ( total quality control).
5.      Strategi budaya / kultur (cultur Strategi),  yaitu adanya upaya reorientasi perilaku dan budaya aparatur serta birokrasi yang lebih terbuka dan mampu merevitalisasi dan mengadopsi nilai-nilai budaya (baik budaya lama maupun baru), yang lebih menyentuh nilai-nilai keadilan dan hati nurani.
Agar lembaga pemerintah lebih mampu melaksanakan fungsi kepemerintahan yang baik (good governance), perlu disptakan suatu sistem borikrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Memiliki struktur yang sederhana, dengan sunber daya manusia yang memiliki kompetensi melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan (pengmebangan kebijakan dan pelayanan) secara arif, efesien dan efektif.
2.      Mengembangkan hubungan kemitraan ( partnership) antara pemerintah dan setiap unsur dalam masyarakat yang bersangkutan (tidak sekedar kemitraan internal diantara sesama jajaran instansi pemerintahan saja).
3.      Memahami dan komit akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
4.      Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai utuk mendorong terciptanya motivasi, kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking)  berinisiatif, partisipatif, yang telah diperhitungkan secara realistik dan rasional.
5.      Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dengan junjungan tinggi secara sama dengan masyarakat yang dilayabi.

E.     Penutup
Adanya pelayanan publik yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayani (client centered) insklusif (mencerminkan layanan yang mencakup secara merata seluruh masyarakat bangsa yang bersangkutan, tanpa ada perkecualian), administrasi pelayanan publik yang mudah dijangkau ( accessible) masyarakat dan bersifat bersahabat( user friendly) berasaskan pemerataan yang berkeadilan ( equable) dalam setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Semua itu mencerminkan wajah pemerintah yan sebenarnya (tidak bermuka dua) atau tidak menerapkan standart ganda ( double standarts)  dalam menentukan kebijakan dan memberikan layanan terhadap masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah (outwardly focused)  bersifat peofesional dan bersikap tidak memihak (non-partisan).


0 comments:

Post a Comment